NASAKH MANSUKH DALAM AL-QUR’AN

PENDAHULUAN

Nasakh dan mansukh adalah salah satuan dari rangkaian hukum-hukum yang termaktub dalam syari’at islam, walupun dalam kalngan ulama’ benyak terjadi perdebatan pada posisi hapus menghapus dan batal membatalkan baik berbentuk tekstuaal maupun dalam konterks hukumnya pula. Perbedaan pendapat para ulama’ dalam menetapkan ada atau tidaknya ayat mansukh(dihapus) dalam al-qur’an, antara lain disebabkan adanya ayat-ayat yang nampak kontradiksi bila dilihat dari zhahirnya, sebagian ulama’ berpendapat bahwa diantara ayat-ayat tersebut, ada yang tidak dapat dikompromikan. Oleh karena itu, mereka manerima teori nasikh (menghapus) dalam al-Qur’an sebaliknya, bagi para ulama’ yang terdapat bahwa ayat-ayat tersebut dapat dikompromikan keseluruhannya, tidak mengakui teori penghapusan itu.

Ulama’-ulama’ klasik yang menerima penghapusan dalam al-Qur’an tersebut ternyata tidak sepakat dalam menentukan ayat yang menghapus (nasakh) dan ayat yang dihapus (mansukh); dalam beberapa laporan yang sampai kepada kita, disebut bahwa terdapat kecendrungan dikalangan ulama’ klasik untuk menekankan jumlah ayat yang dihapus hingga mencapai bilangan yang mengerikan. ayat tentang jihad, misalnya telah dikatakan membatalkan sekitar 113 ayat yang mengandung perintah untuk bersifat sabar, pemaaf, dan toleran dalam keadaan tertekan. As-Suyuti kemudian mereduksi ratusan ayat yang dinyatakan mansukh menjadi hanya 20 ayat. Sedangkan syah waliallah menguranginya hingga menjadi lima ayat. Melihat bagaimana ayat-ayat yang dihapus ini, makin lama makin berkurang jumlahnya seiring dengan berjalannya sejarah,

 NASIKH DAN MANSUKH DALAM AL-QUR’AN

  1. Nasakh mansukh dalam al-Qur’an

Ada beberapa disebutkan dalam al-qur’an diantaranya adalah:

ما ننسخ من ءاية او ننسها نءت بخير منها او مثلها

Ayat mana sajakah yang kami nasakhkan atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya pasti kami datangkan yang lebih baik dari pada itu atau yang sama dengan itu. (al-baqarah.2:106)

واذا بدلنا ءاية مكان ءاية والله اعلم بما ينزل قالوا انما انت مفتر بل اكثرهم لا يعلمون

Dan bila kami (Tuhan) mengubah suatu ayat (perkabaran) sebagai pengganti ayat (pengkabaran) yang lain, dan Allah maha mengetahui akan apa yang ia turunkan, mereka berkata,” engkau itu hanya membuat but saja” bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui.(an-nahl.16:101).

ولما سكت عن موسى الغضب اخذ الواح وفي نسختها هدى ورحمة للذين هم لربهم يرهبون

Dan setelah amarah musa mereda, diambil kembali lauh-lauh(taurat) itu, didalam tulisannya terdapat petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang takut sama Tuhannya.(al-a’raaf.7;154)

 Ayat –ayat di atas sebagai pengungat bagi para ulama’ untuk membenarkan bahwa nasikh mansukh benar adanya di singgung dalam al—Qur’an, dari berbagai ayat yang tersurat di atas dan ada yang lainnya fundamental komentar atau hujjah ulama’ untuk menentukan hukum-hukum yang konteks dan maknanya terdapat kontradiktif di antara dalil-dalil al-Qur’an tersebut.

Namun ulama’ memperluas masalah nasikh mansukh terletak pada makna yang terkandung dalam ayat, sebagian ulama, mengatakan menghapus, membatalkan, mengganti, mengangkat, mengubah, memindahkan antara ayat dengan ayat yang lain, terutaman adanya dua ayat yang kontradiktif makna dan konteksnya, yang dulu atau yang baru turun.

  1. Pengertian Nasikh

Secara etimologi, nasikh mempunyai beberapa pengertian; yaitu antara lain penghilangan(izalah), penggantian(tabdil), pengubahan (tahwil), dan pemindahan (naql). Sesuatu yang menghilangkan, menggantikan,mengubah, dan memindahkan disebut nasikh.[1]

Dalam buku lain mengatakan lafaz nasikh terdapat dalam al-Qur’an. Konteks ayat yang mengandung lafaz tersebut mengisaratkan adanya nasikh (penghapusan,pembatalan) dalam al-Qur’an disisi lain Allah berfirman dalam Al-Qur’an,

ولوكان من عند غيرالله لوجدوا فيه اختلافا كثيرا (النساء     )                                                 

Artinya : seandainya Al-Qur’an ini datang bukan dari Allah, niscaya mereka menemukan didalam ikhtilaf ( kontradiksi) yang banyak (QS.4:82)

Ayat tersebut di yakini kebenarannya oleh setiap muslim. Namun para ulama’ berbeda pendapat tentang cara menghadapi ayat-ayat yang sepintas lalu menunjukkan yang kontradiksi. Dari sinilah, antara lain, timbulnya pembahasan tentang nasikh mansukh[2].

Melihat arti nasikh yang sudah di kemukakan oleh beberapa pendapat dapatlah di pahami, bahwa nasikh menurut etimulogi adalah menghilangkan, menggantikan,menghapus, pemindahan suatu hukum yang kontardiktif antara nasikh dan mansukh.

Nasikh menurut terminologi, terdapat perbedaan definisi nasikh. Ulama’ mutaqoddimin abad satu hingga abad tiga hijriyah memperluas arti kata nasikh hingga mencakup hal-hal berikut.

  1. Pembatasan hukum yang ditetapkan terhadap ayat terdahulu oleh hukum yang ditetapkan kemudian.
  2. Pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang bersifat khusus yang datang kemudian
  3. Penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang bersikap samar.
  4. Penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang belum bersyarat.[3]

Nasikh secara terminologi adalah para ulama’mendefinisikan nasikh, kendatipun dengan redaksi sedikit berbeda, tetapi dalam pengertian sama dengan rof’u al-hukmi asy syar’i bi al-khithab asy syar’i (menghapus hukum syarak dengan kitab syara’ pula) atau rof u bi al-hukmi bil al-dalili asy syar’i (menghapus hukum syarak dengan dalil syara’ yang lain). Terminologi “ menghapuskan” dalam definisi di atas adalah terputusnya hubungan hukum yang terhapus dari seorang mukallaf dan bukan terhapusnya subtansi hukum itu sendiri.[4]

Nasikh adalah menghapus atau menghilangkan suatu hukum syar’i dengan syar’i yang lain.[5] Kalok melihat dari beberapa pendapat di atas secara gamlangnya adalah nasikh itu berfungsi untuk menghapus  hukum-hukum syarak dengan dalail syara’ yang lain karena nasikh bisa dikatatak pergantian yang relatif dengan dalil syara’ pula.

Nasakh dalam istilah para ahli usul fiqh adalah pembatalan pemberlakuan hukum syar’i dengan dalil yang datang belakangan dari hukum yang sebelumnya, yang menunjukkan pembatalan baik secara terang-terangan atau secara kandungan saja, baik pembatalan secara umum maupun pembatalan sebagian saja karena suatu kemaslahatan yang menghendakinya, atau nasakh ialah menyatakan dalil susulan yang mengandung penghapusan pemberlakuan dalil yang terdahulu.[6]

  1. Pengertian Mansukh

Mansukh menurut etimologi adalah dihapus,diganti,diubah,dipindahkan. Jadi mansukh hukum syara’ yang dihapus, yang di ganti, yang diubah, yang dipindahkan, sehingga mansukh adalah objek hukum syara’ oleh subjeknya. Mansukh termasuk isim maful dari nasikh dalam bahasa arab asal kata yang sama berubahan dan makna yang berbeda, perbedaan makna antara kedua pembahasan ini adalah naskh artinya telah menghapus sedangkan mansukh dihapus, seperti diterangkan di atas antara subjek dan objek,peneliti dan diteliti. Analogi yang mendekati pemahaman mengenai nasakh dan mansukh sama antara orang yang menghapus dengan apa yang di hapus.

Melihat kedua uraian dan pengertian diatas dapat di ilustrasikan nasakh dan mansukh  letak berbedaannya, dalam bagan dibawah ini

NASAKH TAKHSHISH
1.      Satuan yang terdapat dalam nasikh bukan merupakan bagian yang terdapat dalam mansukh

2.      Nasikh adalah menghapuskan hukum dari seluruh satuan yang tercakup dari dalil mansukh

3.      Nasikh hanya terjadi dengan dalil yang datang kemudia

4.      Nasikh menghapuskan hubungan mansukh dalam rentang waktu yang tidak terbatas

5.      Setelah terjadi nasikh, seluruh sesuatu yang terdapat dalam nasikh tidak terikat dengan hukum yang terdapat dalam mansukh.

1.      Satuan yang terdapat dalam takhshish merupakan bagian dari satuan yang terdapat dalam lafaz umm

2.      Takhshish merupakan hukum dari sebagian satuan yang tercakup dalam dalil umm

3.      Takhshish dapat terjadi baik dengan dalil yang kemudian maupun menyertai dan mendahulinya.

4.      Takhshish tidak menghapuskan hukum umm sama sekali. Hukum umm tetap berlaku meskipus sudah dikhususkan.

5.      Setelah terjadi takhshish, sisa satuan yang terdapat dalam umm tetap terikat oleh dalil umm

  1. Kriteria Ayat-Ayat Mansukh

Sebelum kepembahasan kriteria ayat-ayat mansukh. Kita bahas macam-macam nasakh dan mansukh.

  1. Macam-Macam Nasakh Mansukh
  2. Nasakh al-Qur’an dengan al-Qur’an. Terhadap nasikh seperti ini, para ulama’ sepakat atas kebolehannya.

Contoh :

والذين يتوفونمنكم ويذرون ازواجا وصية لازواجهم متاعا الى الحول غير اخراج فان خرجن فلاجناح عليكم في مافعلن في انفسهن من معروف والله عزيز حكيم

Artinya: dan orang-orang yang akan mati di antara kamu dan meninggalkan istri-istri, hendaklah membuat wasiat untuk istri-istrinya, (yaitu) nafkah sampai setahun tanpa mengeluarkannya (dari rumah). Tetapi jika mereka keluar (sendiri). Maka tidak ada dosa bagimu (mengenai) apa yang mereka lakukan terhadap diri mereka sendiri dalam hal-hal yang baik. Allah maha perkasa dan maha bijaksana( Al-Baqarah:2:240)[7]

Di naskh dengan ayat berikutnya.

والذين يتوفون منكم ويذرون ازواجا يتربصن بانفسهن اربعة اشهر وعشرا فاذا بلغن اجلهن فلا جناح عليكم فيما فعلن في انفسهن بالمعروف والله بما تعملون خبير

Artinta: dan orang-orang yang mati di antara kamu serta meninggalkan istri-istri hendaklah mereka (istri-istri) menenggu empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila (akhir) iddah mereka telah sampai, maka tidak ada dosa bagimu mengenai apa yang mereka lakukan terhadap diri mereka menurut cara yang patut. Dan Allah maha mengetahui dari apa yang kamu kerjakan. (Al-Baqarah:2:234)[8]

  1. Nasikh al-Qur’an dengan sunnah. Bagi kalangan ulama’ hanafiyah, nasikh semacam ini di perkenankan bila sunnah yang menghapusnya berkedudukan mutawattir atau masyhur, akan tetapi, ketentuaan itu tidak berlaku apabila sunnah yang menghapusnya berupa sunnah ahad, bila kedua jenis sunnah diatas bersetatus Qoth’i tsubut, sebagaimana al-qur’an, maka hal itu berbeda dengan sunnah ahad yang bersipat zhonni tsubut.

Keputusan kalangan hanafiyyah mendapat bantahan keras dari kalangan mayoritas ulama’ usul fiqh. Menurut mereka, apapun jenis sunnah yang menghapus al-Qur’an, hal itu tetaplah tidak diperkenankan. Assafi’i mengajukan analisisnya, sunnah tidak sederajat dengan al-Qur’an.

  1. Nasikh as-sunnah dengan al-qur’an. Menurut mayoritas ahli usul. Nasikh semacam ini benar-benar terjadi. Contohnya adalah penghapusan kiblat shalat terhadap ke baitul al muqoddas menjadi ke ka’bah.

قد نرى تقلب وجهك فى السماء فلنو لينك قبلة ترضها فول وجهك شطر المسجدالحرام وحيث ما كنتم فولوا وجوهكم شطره

Artinya: kami melihat wajahmu (Muhammad) sering mengadah kelangit. Maka kami akan palingkan engkau terhadap kiblat yang engkau senangi. Maka arahkanlah wajahmu kearah masjidil haram, dan dimana saja engkau berada, arahkanlah wajahmu ke arah itu.(Al-Baqarah:2:144)

  1. Nasikh as-sunnah dengan as-sunnah.[9]

Contoh: Rasulullah bersabda

كنت نهيتكم عن زيا رة القبور الا فزورها فانها تذكر كم الحياة الاخرة

Artinya : aku pernah melarang kamu berziarah kubur. Ingatlah, ziarahlah kekubur, karena sesungguhnya ziarah kubur mengingatkan kamu akan kehidupan akhirat.

  1. ayat-ayat mansukh ada tida macam.
  2. Nasakh bacaan dan hukum. Yaitu tidak bole dibaca dan tidak boleh di amalkan karena telah dinasakhkan secara keseluruhan. Misalnya, ayat-ayat tentang penyusuan menjadikan kemahraman seseorang dengan sepuluh kali penyusuan. Aisyah r.a berkata.termasuk al-qur’an yang pernah di turunkan, sepuluh kali menyusu yang diketahui dapat menjadikan ke-mahram-an seseorang, kemudian dinasikh dengan lima kali menyusui yang diketahui. Maka. Wafat Rasulullah SAW, sedangkan ketentuan masalah ini tidak termasuk dalam ayat al-Qur’an yang dibaca tentang masalah ini. Fakhruzi berpendapat bahwa bagian pertama yakni sepuluh kali penyusuan dapat menjadikan kemahraman seseorang. Kalimat ini dinasakhkan hukum dan bacaannya. Sedangkan bagian kedua. Yakni lima kali penyusuan dinasakhkan bacaannya, tetapi hukumnya tetap berlaku.
  3. Nasakh bacaan tapi hukumnya tetap berlaku. Sebagaimana dikatakan az-Zarkasyi dalam alburhan, wajib di amalkan bila diterima secara sepakat bulat oleh ummat seperti yang tersurat dalam surat an-nur bahwa” janganlah kalian membenci bapak-bapak kalian karena itu kufur bagi kalian” jenis kedua ini sangat sedikit di temui dalam ayat-ayat al-Qur’an, karena Allah menurunkan al-Qur’an untuk dibaca sebagai ibadah dan penyusunan hukum-hukum bagi manusia.
  4. Nasakh hukum tetapi bacaannya tetap berlaku. Banyak sekali ditemukan dalam al-Qur’an. Jenis inilah yang sangat dikehendaki oleh syari’at islam. Misalnya, ayat tentang kiblat yang menyatakan bahwa(al-Baqarah,2:115) ayat tersebut dinasikhkan oleh ayat(al-Baqarah,2:114). Jadi dapat di ungkapkan, bahwa, disatu sisi, nasikh mengandung lebih dari satu pengertian, sedangkan disisi lain, perkembangan nasikh hanya dibatasi dengan satu pengertian.[10]
  1. Kriteria metode mengetahui adanya nasakh mansukh dalam hadits.
  2. KriteriNaskh (pembatalan). Jika tidak memungkinkan dilakukan harmonisasi, maka langkah selanjutnya dengan membatalkan salah satunya. Caranya dengan membatalkan hadis yang munculnya lebih awal dan memberlakukan hadis yang munculnya lebih akhir. Hadis yang dibatalkan/ dihapus disebut dengan mansukh dan hadis yang menghapus dinamakan nasikh.
  3. Dari pernyataan para Sahabat, seperti hadis dari Jabir bin Abdillah Metode untuk mengetahui adanya nasakh:
  4. Dari pernyataan Nabi sendiri, seperti hadis tentang ziarah kubur yang mengatakan bahwa yang paling akhir yang diperintahkan Nabi adalah tidak perlu berwudhu` kembali setelah memakan sesuatu yang disentuh api.
  5. Dari sejarah/ waktu terjadinya kedua hadis tersebut. Misalnya hadis dari Syidad bin Aus yang menyatakan bahwa telah batal puasa orang yang berbekam dan yang dibekam (terjadi pada tahun kedelapan). Di sisi lain Ibn Abbas meriwayatkan bahwa Nabi berbekam sedangkan Ia dalam keadaan berpuasa dan berihram. (Hadis ini terjadi pada tahun kesepuluh, yaitu saat haji wadda`).
  6. Ijma` sahabat/ ulama. Misalnya bertalbiyah atas nama wanita dan melempar jamrah atas nama anak. Ulama berijma` bahwa wanita tidak ditalbiyahkan oleh selainnya sebagai ganti.[11]
  1. Implikasi Konsep Nasakh Mansukh Dalam Al-Qur’an

Fenomena nasakh yang keberadaannya masih terdapat perbedaan dalam ulama’ al-Qur’an, walaupun sebagian ulama’ mengakui keberadaannya. Adalah bahwa bukti terbesar adanya dialek, jika hubungan antara wahyu dengan realita, jika demikian menurut nasir hamid abu zaid. Maka ada dua konsekwensi yang dimunculkan oleh fenomena oleh naskh ini.

  1. Bagaimana mengkompromikan konskwensi bahwa teks mengalami”perubahan” melalui naskh dengan keyakinan umum bahwa teks sudah ada sejak azzalii di lauh al- mahfuhz.
  2. Problem pengumpulan al-qur’an pada masa khalifah abu bakar, hal ini muncul terkait dengan contoh-contoh yang dikemukakan oleh ulama’ dapat menimbulkan kesan bahwa sebagian dari bagian-bagian teks sudah terlupakan dari ingatan manusia.

Terkait dengan pernyataan diatas, jika kita berbicara mengenai implikasi konsep nasakh mansukh dalam al-qur’an, maka tidak terlepas dari dua penomena yang dikemukakan diatas. Di antara implikasi terhadap al-Qur’an yang dapat kita deteksi di antaranya.

  1. Nilai-Nilai Pendidikan Dalam Nasakh Mansukh

Konsep naskh mansukh sangat erat kaitannya dengan turunnya al-Qur’an secara bertahap atau beransur-ansur dan juga erat kaitannya dengan as-bab al-nuzul, sebab secara gamblang dapat dijelaskan bahwa, harus ayat naskhiyat yang datang kemudian dari pada ayat mansukhiyat, sebab jelas bahwa tidak mungkin sesuatu yang datang lebih dahulu menggati sesuatu yang datang kemudian.

Selain itu kita juga dapat melihat antara nasikh dan mansukh dengan masalah sa-bab al nuzul ada keterkaitan, sebab biasanya Allah menurunkan atau menerapkan sesuatu hukum juga melihat kondisi dan situasi masyarakat pada saat itu. Semisal ayat-ayat tentang keharaman khamar.

Dari dua pemahaman di atas. Dapat diambil benang putihnya. Al-Qur’an sebagai kitab pendidikan terbesar melalui konsep nasakh dan mansukh, ini ingin menjelaskan bahwa.

  1. Sebenarnya Allah ingin mengajarkan kepada manusia dalam menganjurkan atau memberi pelajaran haruslah dilakukan secara bertahap. Sehingga apa yang diajarkan dapat mengena kepada siapa yang diajar itu juga ketika memberi sebuah pemahaman haruslah secara bertahap.
  2. Bahwa sebuah ilmu pengetahuan itu tidak bisa dikatakanabadi dan benar untuk selamanya, sebab suatu saat ilmu pengetahuan itu akan bisa berubah sesuai dengan perkembangan zaman, nasikh dan mansukh menggambarkan bahwa bisa jadi suatu hukum yang berlaku untuk masa yang akan datang atau dapat terjadi sebaliknya.
  3. Dengan nasikh dan mansukh memberikan pengertian bahwa kita harus mencontok sipat Allah yang sang maha pemurah, sebab ada kalanya Allah mengganti hukum sesuatu yang awalnya berat menjadi lebih ringan ini semua tidak lain kecuali ingin menunjukkan kemurahan Allah SWT.
  4. Dengan nasikh dan mansukh kita juga dapat mengambil pelajaran pendidikan bahwa nilai-nilai penghargaan terhadap sesama dengan sifat saling hormat menghormati terhadapat pandangan serta gagasan yang dimiliki oleh masusi baik itu berupa pendapat fikiran,perbuatan serta perkataan kiranya terjadi kontradiktif kita dengan dewasa menyikapi hal-hal seperti itu.

                                                        KESIMPULAN

Melihat beberapa uraian di atas maka dapatlah disimpulkan bahwa kebanyakan ulama’ sepkat tentang adanya hukum nasikh mansukh.

Kemudian para ulama’ fiqh dan usul fiqh sepakat bahwa naskh mansukh benar adanya mengenai nasakh mansukh dalam al-Qur’an dan sunnah.

Syari’at selalu melihat kemaslahatan ummat manusia oleh karena itu nasikh mesti ada dan terjadi pada sebagian hukum.

Nasikh itu tidak terjadi pada berita-berita tetapi terjadi pada hukum-hukum yang berhubungan dengan masalah halal dan haram.

Hukum-hukum itu bersumber dari Alloh yang disyari’atkan demi untuk kemaslahatan dan kebahagiaan manusia.

Menyimpang dari syari’at akan menyebabkan ketimpang tindihan dalam kehidupan manusia karna tidak mengikuti ajaran serta anjuran islam sesuai dengan ketentuan.

Dari nasakh dan mansukh kita bisa mengambil pelajaran dalam sosial bahwa tidak selamanya yang lebih tua itu selalu relevan ungkapannya dari pada ornag yang kemudian lahir, karena pendapat itu sesuai dengan keadaan sosial dan psikologi kondisi masyarakat tersebut.

[1] Rosihon anwar, ulumul qur’an, pustaka setia bandung,2000,hlm. 172.

[2] Muhammad chirzin, al-qur’an dan ulumul qur’an.dana bhakti prima yasa yogyakarta,2003,hlm39

[3] Ahmad izzan. Ulumul  al-qur’an. Telaah tekstualitas dan kontekstualitas al-qur’an, humanora, 2011. Hal 185.

[4] Rosihon anwar, op, cit., hlm172

[5] Muhammad chirzin, op, cit., hlm 41.

[6] Abdul wahhab khallaf, ilmu usul fiqih, dina utama. Semarang. 1994.,hlm.,346

[7] Al-qur’an dan terjemahan, mushaf aminah, alfatih. Hlm.240

[8] Opcit. Al-qur’an dan terjemahan. Hlm 234

[9] Ibid hal-186

[10] Ibid.hal,186-187

[11] Dr. Ocktoberrinsyah. Ikhtilaf hadits. Hlm 3.

Tinggalkan komentar